Government Regulation No. 10 of 2017 on the Principles of Power Purchase Agreements (PPA) (BH)
Overall Summary:The Government Regulation No. 10/2017 on the Principles of Power Purchase Agreements (PPAs) outlines the principles of the PPAs, and the legal basis for the agreement between the State Utility (PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN)) and Independent Power Producers (IPPs), covering three key areas: (a) the implementation of the BOOT (Build-Own-Operate-Transfer) business scheme; (b) a new risk sharing and allocation concept; (c) penalty mechanisms.
RE action plans:Article 2 [. ] (2) Principles stipulated in the PPA to call (alternating) (1) Facilities for power generation, hydroelectric power plants, and biomass power plants. (3) For the points regulated in the PPA for intermittent new energy and renewable energy power plants, hydroelectric power plants under 10 MW (ten megawatts), biogas power plants, and municipal waste-based power stations are regulated under a Separate Ministerial Regulation.
Energy management principles:Article 4 (1) The PPA is carried out for a maximum period of 30 (thirty) years from the date of implementation of the COD. --- (3) PPA 9. ] uses a cooperative pattern "Build, Own, Operate and Transfer" (Build, Own, Operate and Transfer / BOOT).
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
NOMOR 10 TAHUN 2017
POKOK-POKOK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,
a. bahwa dalam rangka mewujudkan kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik yng adil dan transparan serta memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan perjanjian jual beli tenaga listrik agar pembngkit tenaga listrik dalam sistem tenaga listrik memenuhi keandalan sistem yang dipersyaratkan, perlu mengatur pokok-pokok dalam perjanjian jual beli tenaga listrik antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan badan usaha pembangkitan tenaga listrik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tantang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Tenaga Lisrik;
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 34);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5281) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5530);
6. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 132) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 105 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 289);
7. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 03 Tahun 2007 tentang Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik Jawa-Madura-Bali;
8. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37 Tahun 2008 tentang Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik Sumatera;
9. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 05 Tahun 2014 tentang Tata Cara Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 166) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 05 Tahun 2014 tentang Tata Cara Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 560);
10. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun 2015 tentang Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik Sulawesi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 29);
11. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 782);
12. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2016 tentang Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik Kalimantan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 982);
Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG POKOK-POKOK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(1) Peraturan Menteri ini mengatur ketentuan mengenai pokok-pokok dalam PJBL antara PT PLN (Persero) selaku pembeli dengan Badan Usaha selaku penjual pada Sistem Tenaga Listrik.
(2) Pokok-pokok yang diatur dalam PJBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek komersial untuk seluruh jenis pembangkit, termasuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, pembangkit listrik tenaga air, dan pembangkit listrik tenaga biomassa.
(3) Terhadap pokok-pokok yang diatur dalam PJBL untuk pembangkit listrik tenaga energi baru dan energi terbarukan yang bersifat intermiten, pembangkit listrik tenaga air di bawah 10 MW (sepuluh megawatt), pembangkit listrik tenaga biogas, dan pembangkit listrik berbasis sampah kota diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.
PJBL antara PT PLN (Persero) dengan Badan Usaha paling sedikit memuat antara lain ketentuan mengenai: a.jangka waktu PJBL;
Jangka Waktu PJBL
(1) PJBL dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak terlaksananya COD.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan jenis pembangkit yang digunakan.
(3) PJBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan pola kerja sama “Membangun, Memiliki, Mengoperasikan dan Mengalihkan” (Build, Own, Operate and Transfer/BOOT).
(4) PJBL sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk biaya kapasitas (komponen A) pada harga jual tenaga listrik dihitung berdasarkan nilai investasi yang didepresiasi paling sedikit selama 20 (dua puluh) tahun.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam PJBL.
Hak dan Kewajiban
Penjual dan Pembeli Tenaga Listrik
Hak dan Kewajiban Penjual Tenaga Listrik
(1) Badan Usaha selaku penjual, berhak:
(2) Badan Usaha selaku penjual, wajib:
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban Badan Usaha selaku penjual dituangkan dalam PJBL.
Hak dan Kewajiban Pembeli Tenaga Listrik
(1) PT PLN (Persero) selaku pembeli, berhak:
(2) PT PLN (Persero) selaku pembeli, wajib:
(3) Periode tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan periode yang disepakati antara PT PLN (Persero) dan Badan Usaha dengan mempertimbangkan masa pengembalian pembiayaan (repayment) kepada pemberi pinjaman (lender).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban PT PLN (Persero) selaku pembeli dituangkan dalam PJBL.
Badan Usaha yang memiliki lebih dari 1 (satu) proyek, dilarang mengompensasikan suatu kerugian pada salah satu proyek sebagai pengurang pendapatan di proyek yang lain.
Bagian Keempat Alokasi Risiko
(1) Risiko yang ditanggung PT PLN (Persero) meliputi:
(2) Risiko yang ditanggung Badan Usaha meliputi:
(3) Risiko PT PLN (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan risiko Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur lebih lanjut dalam PJBL.
Jaminan Pelaksanaan Proyek
(1) Jaminan pelaksanaan proyek yang harus diberikan oleh Badan Usaha kepada PT PLN (Persero) berupa jaminan kinerja proyek(performance security) yang terdiri atas:
(2) Jaminan kinerja proyek (performance security) tahap 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan jaminan yang diberikan untuk menjamin pencapaian tahap kemampuan pendanaan (financing date)yang berlaku sejak tanda tangan PJBL sampai dengan kemampuan pendanaan (financing date).
(3) Jaminan kinerja proyek (performance security) tahap 2 (dua) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan jaminan yang diberikan untuk menjamin pencapaian waktu komisioning (commissioned date)yang berlaku sejak tanda tangan PJBL sampai dengan waktu komisioning (commissioned date).
(4) Jaminan kinerja proyek (performance security) tahap 3 (tiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan jaminan yang diberikan untuk menjamin pencapaian pelaksanaan COD yang berlaku sejak tanda tangan PJBL sampai dengan pelaksanaan COD.
Komisioning dan COD
Ketentuan komisioning dan COD pembangkit tenaga listrik mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akreditasi dan sertifikasi ketenagalistrikan.
(1) Pengoperasian pembangkit tenaga listrik harus mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik (Grid Code) pada sistem setempat.
(2) Terhadap Sistem Tenaga Listrik yang belum memiliki aturan jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), aturan jaringan ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(3) Dalam hal belum terdapat aturan jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pengoperasian pembangkit tenaga listrik dapat mengikuti aturan jaringan tenaga listrik yang telah ada.
(1) Badan Usaha dapat mempercepat pelaksanaan COD dari pelaksanaan COD yang telah direncanakan.
(2) Dalam hal pelaksanaan COD dipercepat atas permintaan PT PLN (Persero), Badan Usaha berhak mendapatkan insentif.
(3) Bentuk insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan secara business to business yang dituangkan dalam PJBL.
(1) Dalam hal terjadi keterlambatan pelaksanaan COD yang disebabkan oleh kelalaian Badan Usaha, Badan Usaha dikenakan penalti liquidated damage.
(2) Bentuk penalti liquidated damage sebagaimana dimaksud pada ayat (1) senilai biaya pembangkitan oleh PT PLN (Persero) untuk mengganti daya yang dibangkitkan akibat keterlambatan pelaksanaan COD.
Pasokan Bahan Bakar
(1) Penyediaan bahan bakar dapat dilakukan oleh PT PLN (Persero) atau Badan Usaha.
(2) Dalam hal penyediaan bahan bakar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh PT PLN (Persero), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Bagian Kedelapan Transaksi
(1) PT PLN (Persero) wajib membeli tenaga listrik sesuai AF atau CF berdasarkan spesifikasi teknis pembangkit tenaga listrik dengan harga sesuai dengan persetujuan harga jual tenaga listrik dari Menteri.
(2) PT PLN (Persero) dapat membeli tenaga listrik melebihi AF atau CF yang tertera dalam PJBL dengan harga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
(1) Badan Usaha wajib menyediakan tenaga listrik sesuai dengan PJBL.
(2) Dalam hal Badan Usaha selaku penjual tidak dapat mengirimkan tenaga listrik sesuai dengan PJBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan kegagalan dan/atau kelalaian Badan Usaha, Badan Usaha wajib membayar penalti kepada PT PLN (Persero).
(3) Dalam hal PT PLN (Persero) tidak dapat menyerap tenaga listrik sesuai PJBL disebabkan kesalahan PT PLN (Persero), PT PLN (Persero) wajib membayar penalti kepada Badan Usaha selama periode tertentu.
(4) Penalti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan secara proporsional sesuai dengan komponen investasi.
(1) Pembayaran atas transaksi pembelian tenaga listrik menggunakan mata uang rupiah, kecuali mendapat pengecualian dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat (USD), nilai tukar yang digunakan untuk pembayaran dalam mata uang rupiah menggunakan nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).
Pengendalian Operasi Sistem
Pengendali Operasi Sistem (Dispatcher) berperan untuk mengatur operasi sistem (dispatch) pembangkit tenaga listrik dalam rangka menjaga keandalan Sistem Tenaga Listrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik (Grid Code) pada sistem setempat.
(1) Pengendali Operasi Sistem (Dispatcher) harus membuat perencanaan dan melaksanakan operasi sistem (dispatch) untuk mendapatkan keandalan dalam penyediaan tenaga listrik.
(2) Dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi sistem (dispatch)sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi pembangkitan dengan biaya termurah (least cost) dan teknis operasional pembangkit dalam memenuhi prakiraan beban, dengan tetap memperhatikan kendala jaringan dan standar kualitas pelayanan.
(3) Dalam mengatur operasi sistem (dispatch) pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengendali Operasi Sistem (Dispatcher) harus memperhatikan setiap PJBL antara PT PLN (Persero) dan Badan Usaha.
(1) Operasi sistem (dispatch) bulanan untuk setiap pembangkit tenaga listrik harus dideklarasikan dan dilaporkan kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal.
(2) Laporan atas operasi sistem (dispatch) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk memuat pelanggaran terhadap Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik (Grid Code) pada sistem setempat yang dilakukan baik oleh PT PLN (Persero) maupun oleh Badan Usaha.
Penalti Terhadap Kinerja Pembangkit
(1) Kriteria kinerja pembangkit tenaga listrik dapat dinyatakan dengan nilai aktual dari AF atau CF, heat rate, maupun ketentuan teknis lainnya yang disepakati dalam PJBL.
(2) Jika nilai aktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan nilai yang telah disetujui bersama antara PT PLN (Persero) dan Badan Usaha dikarenakan kesalahan Badan Usaha, Badan Usaha dapat dikenakan penalti.
(3) Penalti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
(1) Liquidated damaged (LD)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf a merupakan penalti akibat keterlambatan mencapai COD sesuai dengan PJBL yang besarnya proporsional dengan biaya yang dikeluarkan oleh PT PLN (Persero), dikarenakan ketiadaan energi yang dijanjikan.
(2) Penalti AF atau CF dan penalti outage factor(OF) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf b dan huruf c ditetapkan sebesar biaya yang harus dikeluarkan oleh PT PLN (Persero) dikarenakan ketiadaan energi yang dijanjikan.
(3) Penalti tara kalor (heat rate)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf d diberlakukan khusus untuk pembangkit berbahan bakar gas yang gasnya disiapkan oleh PT PLN (Persero) dan pembangkit berbahan bakar batubara.
(4) Nilai penalti tara kalor (heat rate)untuk pembangkit berbahan bakar gas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar harga gas dikalikan selisih tara kalor (heat rate)yang diperjanjikan dengan tara kalor (heat rate) aktual.
(5) Nilai penalti tara kalor (heat rate)untuk pembangkit batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa pembeli membayar komponen bahan bakar (komponen C) sesuai dengan tara kalor (heat rate) yang diperjanjikan.
(6) Penalti kegagalan memikul mega volt ampere reactive(MVAR) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf e merupakan penalti yang diakibatkan karena pembangkit tenaga listrik milik Badan Usaha gagal untuk memikul mega volt ampere reactive(MVAR) di sistem interkoneksi PT PLN (Persero).
(7) Penalti kegagalan memikul mega volt ampere reactive(MVAR) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak berlaku apabila atas permintaan Pengendali Operasi Sistem (Dispatcher).
(8) Penalti kegagalan menjaga frakuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf f merupakan penalti yang diakibatkan apabila pembangkit tenaga listrik milik Badan Usaha gagal untuk memenuhi ketentuan dalam Aturan Jaringan Sistem Tenaga Listrik (Grid Code) pada sistem setempat.
(9) Penalti kecepatan naik turun beban(ramp rate)sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf g dikenakan terhadap pembangkit tenaga listrik milik Badan Usaha yang tidak mampu mencapai jumlah dan waktu perubahan pembebanan memenuhi operasi sistem (dispatch).
(1) Pengakhiran PJBL dapat terjadi, antara lain dalam hal:
(2) Pengakhiran PJBL oleh salah satu pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan sebelum masa berakhir PJBL, antara lain dikarenakan:
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme dan konsekuensi atas pengakhiran PJBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam PJBL.
(4) Pengakhiran PJBL harus dilaporkan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Bagian Keduabelas Pengalihan Hak
(1) Pengalihan hak kepemilikan atas Badan Usaha tidak dapat dialihkan sampai dengan pembangkit tenaga listrik mencapai COD.
(2) Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pengalihan kepada afiliasi yang sahamnya dimiliki lebih dari 90% (sembilan puluh persen) oleh penyandang dana (sponsor) yang bermaksud untuk mengalihkan saham.
(3) Pengalihan hak kepemilikan setelah mencapai COD dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan secara tertulis dari pembeli.
(4) Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
Terhadap pengalihan hak untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang panas bumi.
Persyaratan Penyesuaian Harga
(1) Penyesuaian harga jual tenaga listrik dapat dilakukan dalam hal terjadi perubahan unsur biaya dan teknis.
(2) Perubahan unsur biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal terdapat perubahan:
(3) Perubahan unsur teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan berdasarkan kesepakatan dalam PJBL antara PT PLN (Persero) dan Badan Usaha.
(1) Setiap perselisihan yang terjadi antara PT PLN (Persero) dan Badan Usaha diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal perselisihan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian perselisihan diserahkan kepada ahli yang disepakati.
(3) Dalam hal putusan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diterima, penyelesaian perselisihan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), The United Nations Commission on International Trade Law(UNCITRAL) atau Badan Arbitrase lainnya yang ditunjuk.
(4) Putusan yang telah ditetapkan oleh Badan Arbitrase sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan putusan terakhir yang mengikat.
Keadaan Kahar (Force Majeur)
(1) Para pihak dibebaskan dari kewajibannya apabila terjadi keadaan kahar (force majeur).
(2) Keadaan kahar (force majeur) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
(3) Dalam hal keadaan kahar (force majeur) dikarenakan bencana alam (natural force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menyebabkan tertundanya pelaksanaan COD maka jadwal pelaksanaan COD dapat diperpanjang sesuai dengan waktu berlangsungnya bencana alam (natural force majeure)termasuk waktu untuk perbaikan pada proyek yang diperlukan.
(4) Dalam hal keadaan kahar (force majeur) dikarenakan bencana alam (natural force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menyebabkan energi yang dibangkitkan tidak dapat disalurkan, maka PJBL dapat diperpanjang sesuai dengan waktu berlangsungnya bencana alam (natural force majeure)termasuk waktu untuk perbaikan pada proyek yang diperlukan.
(5) Dalam hal keadaan kahar (force majeur) dikarenakan perubahan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menyebabkan adanya investasi baru atau tambahan biaya maka Badan Usaha berhak mendapatkan penyesuaian harga jual tenaga listrik.
(6) Dalam hal keadaan kahar (force majeur) dikarenakan perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menyebabkan adanya pengurangan biaya maka PT PLN (Persero) berhak mendapatkan penyesuaian harga jual tenaga listrik.
(7) Dalam hal keadaan kahar (force majeur) dikarenakan perubahan kebijakan pemerintah (government force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c menyebabkan proyek dihentikan atau pembangkit tenaga listrik tidak dapat beroperasi maka PT PLN (Persero) maupun Badan Usaha dibebaskan dari kewajibannya masing-masing.
Ketentuan lain yang belum diatur dalam Peraturan Menteri ini akan diatur dalam PJBL secara business to businessantara PT PLN (Persero) dan Badan Usaha.
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap proyek yang telah memasukkan penawaran (bid closing), telah menandangani surat penunjukan (letter of intent) atau telah menandatangani PJBL termasuk dalam hal adanya penyesuaian harga dan/atau proses amandemen PJBL lainnya sebelum Peraturan Menteri ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi yang telah:
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap pengadaan proyek pembelian tenaga listrik (Independent Power Producer/IPP)baru yang belum mencapai tanggal pemasukan penawaran (bid closing), wajib menyesuaikan denganPeraturan Menteri ini.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.